Mahasiswa Pencinta Alam (mapala) adalah wadah organisasi yang dibuat oleh
mahasiswa itu sendiri atau berada langsung dari Universitas yang bersangkutan.
Pendirian organisasi ini didasari oleh kebutuhan mahasiswa untuk meningkat soft
skill, tidak hanya skill untuk melakukan olahraga pendakian gunung atau jelajah
hutan dan pantai tapi juga soft skill dalam belajar untuk mengenal kegiatan
manajemen, belajar komunikasi antar individu, belajar mengeluarkan pendapat dan
mengatasi berbagai masalah, belajar mengenal dan memposisikan diri di suatu
komunitas masyarakat dan berbagai macam pelajaran yang sekiranya tidak bisa
didapatkan di bangku perkuliahan.
Berbicara mapala, maka kita akan berbicara kegiatan
Diksar. Ini adalah agenda atau program yang sangat penting yang ada di dalam
sebuah organisasi mapala, karena ini adalah cikal bakal bagaimana organisasi mapala
dalam sebuah kampus bisa terus berjalan karena tidak kehabisan sumber daya
manusia (SDM). Cuman kasusnya saat ini adalah para senior lupa apa konsep awal
diksar dan sudah tentu hal ini dikarenakan kurangnya pemantuan dari yang berwenang
atas organisasi kampus yang bersangkutan, dalam hal ini adalah pihak
Universitas (Kampus). Kejadian yang paling baru adalah meninggalnya 3 orang
Calon Anggota (Mahasiswa) pada kegiatan Diksar Kampus UII di Lereng Selatan
Gunung Lawu, Tawangmangu (14-22 Januari 2017).
Diksar (Pendidikan Dasar) adalah kegiatan
perekrutan anggota baru Mapala, namanya juga anggota baru pasti polos dan butuh
bimbingan dari kakak kakak seniornya. Mereka butuh pengetahuan yang bermanfaat
untuk mereka masuk dalam organisasi ini dan mereka butuh pandangan bagaimana
menjadi seorang Mapala yang sebenar-benarnya seorang pecinta alam. Dan tentu
jangan lupa Mapala yang soleh dan solehah.
Saya akan menceritakan pengalaman saya saat pertama
kali saya mengenal dunia Mapala, pertama kali ikut diksar pada tahun 2007. Saya
adalah mahasiswa baru yang polos serta sangat tidak mengetahui apa itu
pendakian gunung, tidak pernah membayangkan sedikit pun bagaimana saya akan
mendaki gunung bagaimana persiapanya, medannya, kondisinya, rintanganya, dan
lain sebagainya. Saya hanya ikut-ikutan masuk ke dalam organisasi itu sebagai
ajang hanya isi waktu, lambut laun berganti saya mendapat banyak sekali materi
tentang pendakian gunung dan jelajah hutan. Contoh materi yang saya
dapat dalam proses pendidikan awal adalah Manajemen Perjalanan, Navigasi,
Pengetahuan Mountaineering, dan Survival. Kepala saya terbuka bahwa faktanya
pendakian gunung dan jelajah hutan adalah kegiatan yang berbahaya tidak
sembarangan dan butuh kematangan dari segi pengetahuan dan skill. Awal-awal
saya masuk kedalam Mapala sangat menyenangkan karena kakak senior yang baik,
membimbing dan senantiasa memberi nasehat yang baik untuk kegiatan kampus saya.
Lambat laun berjalan sampailah di ujung pemberian
materi pendidikan, dan akan masuk ke dalam Diksar. Peralatan – Peralatan mulai
di siapkan, ada yang beli pakai uang jajan dan lebih banyak yang pinjam dari
kampus lain, senior mulai berubah dari wajah yang ramah menjadi wajah yang
gahar. Semakin mendekati hari H senior semakin galak dan banyak komentar
banyak memberikan kritik dengan nada bicara yang pedas. Dalam hal ini tidak ada
proses pemukulan, penyiksaan dan perponcloan lainya, para senior sadar posisi
mereka harus galak dan tegas karena kegiatan diksar ini adalah kegiatan yang
tidak main-main karena butuh persiapan yang matang supaya kegiatanya
berjalan lancar tanpa meninggalkan berita duka dari keberangkatan kami semua.
Hari H-2 senior makin beringas, kami dimarahi
karena masih tidak lengkapnya list peralatan kami. Dengan galaknya mereka menceramahi
kami dengan kata-kata sindiran yang pedas, mereka memberi waktu 1 hari untuk
melengkapi peralatan yang sudah list supaya dilengkapi sampai lengkap sempurna.
Pada akhirnya pun karena kita sudah lelah di omeli akhirnya kami melengkapi
semuanya.
Hari H, Diksar dilakukan di Lereng Gunung Hambalang
Tajur Bogor. Kegiatan penuh dengan kelelahan karena harus bejalan jauh
berkilo-kilo membawa carrier yang luar biasa berat isinya, berkali-kali senior
meneriaki kami untuk terus berjalan walau kaki ini sudah lelah. Senior memarahi
kami untuk membangun bivak alam yang baik supaya tahan dari angin dan hujan,
jika bivak kami jelek maka akan di rubuhkan lagi lalu disuruh membuat yang jauh
lebih baik lagi, berkali-kali senior meneriaki kami untuk mencari bahan makanan
yang bisa dimakan dari alam dan belajar memasak tanpa menggunakan kompor,
senior memarahi kami kalau kami makan sangat sedikit karena terlalu lelah, mereka juga
meneriaki kami kalau jam 10 malam semua kegiatan diberhentikan dan kami harus
tidur tidak ada ngobrol dan bersenda gurau di Bivak kami. Proses praktek P3K yang salah dan tidak sesuai prosedur akan dimarahi
habis-habisan sampai kami benar sebenar-benarnya dalam melakukan simulasi P3K
terhadap rekan kami. Mengecek baik-baik tali temali yang kami pasang sebelum kegiatan
simulasi mountaineering, dan akan memarahi kami habis-habisan jika Angkor tidak
safety dan tidak sesuai prosedur.
Diksar, kegiatan yang sungguh sangat melelahkan. Tiada
hari-hari di diksar tanpa teriakan, kata-kata yang pedas, serta intimidasi dari
para senior.
Taaappiiii...
Tidak ada pemukulan, tidak ada perponcloan, tidak
ada penindasan, tidak ada penyiksaan, tidak ada luka yang diakibatkan dari
tindak kekerasan. Kami semua capek tapi kami semua mendapatkan pelajaranya,
materi yang diberikan diingat sampai kami lulus, kami masih ingat materi yang
diberikan saat mulai melakukan pendakian awal bersama-sama anggota Muda dan bahkan
terus ingat sampai kami memulai melakukan pendakian sendiri tanpa embel-embel
organisasi Mapala. Kami cenderung memberikan berbagai macam saran yang baik,
efektif, benar dan safety kepada teman-teman kami yang memiliki sedikit
pengetahuan terkait pendakian Gunung. Kami mendaki dengan cara yang benar dan
aman mementingkan keselamatan dibanding rasa penasaran.
Kasus Mapala UII adalah kasus yang perlu kita amati
bersama, bahwa senior tugasnya adalah membimbing adik-adiknya bukan menyiksa
dan membahayakan mereka. Bahwa wadah organisasi Mapala adalah instrument yang
digunakan untuk mendidik dan memberi pengetahuan bukan wadah untuk melakukan
penindasan serta ajang balas dendam. Mapala seharusnya adalah ajang prestasi
bukan ajang gaya-gayaan, dan berujung pada duka seluruh civitas Mapala. Bayangkan
jika tidak ada Mapala, bagaimana siswa-siswa alay yang minim pengetahuan bisa
diselamatkan di gunung jika terjadi apa-apa. Bagaimana kami memberikan edukasi
ke mereka jika ada persiapan mereka yang salah dan tidak matang dalam pendakian
dan jelajah hutan. Bagaimana diksar seharusnya adalah kegiatan yang berpotensi menurunkan
kasus kecelakaan di Kegiatan Pendakian Gunung di Seluruh Indonesia.
Mari para senior Mapala yang menjadi panutan adik-adiknya
mari sama-sama kita bimbing adik kita dengan cara yang baik, dengan cara yang
santun, dan memberikan kesan bahwa Mapala adalah wadah mereka untuk belajar
berorganisasi. Jadikanlah Mapala adalah tempat mereka membangun potensi mereka
di masa depan dan untuk Bangsa Indonesia. Hapus paradigma negative dari Mapala,
mari sama-sama kita mawas diri. Bangun Mapala menjadi lebih baik lagi ke depan, buang jauh budaya tidak baik dalam Mapala.
#MapalaIndoneisaBerduka #MapalaBukanPembunuh
#SafetyHiking #GunungBukanTempatSampah
0 komentar:
Post a Comment